KPK 'Genjot' Kasus Dugaan Suap Bansos Covid-19 dan Tanggapan Pengamat Soal Hukuman Tindak Pidana Korupsi

17 Februari 2021, 19:46 WIB
Mantan Mensos RI Juliari P. Batubara telah menyerahkan diri ke KPK terkait kasus suap bantuan sosial Covid-19.* /Instagram @juliaribatubara/

 

PR BANDUNGRAYA - Terkait kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak menghilangkan dokumen terkait bansos Covid-19 tersebut.

"Pada prinsipnya kalau itu namanya dokumen negara itu wajib ada di tempatnya, seperti di Kemensos ini yang namanya dokumen negara sebagai pertanggungjawaban per waktu harus ada," kata Deputi Penindakan KPK, Karyoto dikutip PRBandungRaya.com dari PMJ News, Rabu 17 Februari 2021.

Lebih jauh lagi, KPK mengingatkan bila ada tindakan menghilangkan dokumen, maka ada pasal khusus terkait hal tersebut.

Baca Juga: Jelang Laga Porto vs Juventus di Liga Champions, Andrea Pirlo Ungkap Kondisi Timnya

"Kalau menghilangkan ada pasal sendiri nanti," katanya.

Pengusutan dan penyidikan kasus dugaan suap bansos Covid-19 ini sudah memakan waktu dua bulan lebih.

Terdengar kabar bahwa kasus ini mandek. Namun hal ini ditampik oleh Karyoto.

Baca Juga: Bangkitkan Ekonomi dari Sektor Pariwisata, Ini Arahan Menko Airlangga ke Sandiaga Uno

"Hampir hari-hari kami kerjanya hanya diskusi dan diskusi, dan hari tertentu secara rutin satu minggu dua kali kita akan ekspos ke pimpinan tentang hal-hal yang akan dinaikkan," jelasnya.

Hukuman mati

Wacana hukuman mati untuk terpidana korupsi sudah lama diperbincangkan oleh publik.

Di situasi pandemi Covid-19 yang tidak menentu ini, masyarakat semakin resah dengan kasus korupsi yang menjerat beberapa pejabat negara.

Apalagi yang dikorupsi adalah bantuan sosial (bansos).

Baca Juga: Masuk dalam Kategori Paling Berisiko, Pemerintah Targetkan 21,5 Juta Lansia Bakal Disuntik Vaksin Covid-19

Mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo menilai Edhy Prabowo dan Juliari P Batubara pantas dihukum seumur hidup.

"Saya termasuk yang berprinsip, hidup itu yang berhak mengambil, ya, yang memberi hidup," kata Agus.

"Oleh karena itu, hukuman maksimal yang lain pantas digunakan, yaitu hukuman seumur hidup dan diberlakukan TPPU kepada yang bersangkutan," katanya dikutip PRBandungRaya.com dari Antara, Rabu 17 Februari 2021.

Namun, pemberian hukuman mati bagi para pelaku pidana korupsi memungkinkan. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang.

"Undang-undangnya memungkinkan apabila syaratnya terpenuhi bisa diterapkan hukuman mati.

Agus menilai pertimbangan hukuman mati bisa memberikan efek jera sehingga membuat seseorang takut melakukan korupsi.

"Mungkin pertimbangan penting lainnya efek pencegahan karena hukuman mati akan membuat orang takut/jera melakukan korupsi (deterrent effect)," katanya.

Sementara itu, Edward Omar Sharif, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenhumkam), menilai dua mantan menteri itu layak dituntut hukuman mati.

"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Edward.

Menurut Edward, yang memberatkan kedua mantan menteri itu layak dituntut pidana mati ada dua hal.

Pertama, mereka melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan darurat, yaitu darurat Covid-19.

Kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan.***

Editor: Rizki Laelani

Sumber: PMJ News Antara

Tags

Terkini

Terpopuler