Sepakati Penundaan Pembahasan RUU HIP, MPR: Harus Hati-hati, Kalau Salah Seperti Buka Kotak Pandora

- 19 Juni 2020, 13:28 WIB
Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid.*
Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid.* //ANTARA

PR BANDUNGRAYA - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dinilai mengandung banyak hal negatif oleh Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid. Oleh sebab itu, ia berpesan agar selalu berhati-hati dan teliti ketika membahasnya.

"Apabila salah proses sosialisasi RUU HIP kepada masyarakat, apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang, hal itu bisa berbahaya," kata Jazilul dalam keterangannya, Jumat 19 Juni 2020 sebagaimana dilaporkan Antara.

Kalau sosialisasinya salah, kata dia, maka seperti membuka kotak pandora. Kalau dalam bahasanya PBNU, ini mengurai ikatan yang sudah kuat karena negara ini disebut darul mitsaq, negara kesepakatan.

Baca Juga: Target Uji Virus Setara Korsel, Simak Usaha Jabar Gelar Tes Covid-19 hingga Ciptakan Mobil Khusus

Jazilul menuturkan, melalui diskusi virtual bertajuk Bedah RUU Haluan Ideologi Pancasila, pihak MPR saat ini telah menyepakati keputusan pemerintah untuk menunda atau menghentikan pembahasan RUU HIP.

"Kamis (18 Juni 2020) siang, para pimpinan MPR telah menyetujui langkah pemerintah untuk menunda atau memberhentikan sementara pembahasan RUU HIP," ucap Jazilul.

Dia menilai Pancasila merupakan "kalimatun sawa" yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya, dan agama, atau disebut juga "mitsaqon gholidzo" artinya perjanjian yang agung. Hal itu disebut Jazilul sebagai nilai-nilai dasar, karena tidak bisa diturunkan lagi menjadi undang-undang.

Baca Juga: Bangkrut Gara-gara Covid-19, Pengusaha India Sewa Pembunuh Bayaran untuk Akhiri Hidupnya

Apalagi menurut dia, dalam draf yang ada saat ini, berbagai kalangan menolaknya seperti ormas Islam bahkan purnawirawan TNI menolak karena tahu sisi kesejarahannya.

"Memang menurut saya, wacana ini dihentikan saja apalagi di tengah pandemi. Ketika situasi normal kembali, kita bisa membaca keadaan, silaturahim bisa jalan sehingga sosialisasi terhadap ide penguatan Pancasila ini kalau mau dibentuk dalam RUU itu bisa lebih jelas," katanya.

Jazilul menilai saat ini justru yang berkembang di tengah masyarakat adalah isu komunis mau bangkit lagi atau mau menjadi sekuler.

Baca Juga: Kapolres Sumedang Gelar Rapid Test pada Puluhan Awak Bus di Terminal Ciakar, Bantu Lengkapi SIKM

Jazilul memang mengaku sangat setuju dengan adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), namun kalau hendak dipayungi hukum, harus hati-hati ketika pembahasan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Karena kalau terjadi kesalahpahaman, itu sama dengan mengurai sesuatu yang sudah rapi, kemudian berantakan. Takutnya tidak sama, padahal ini adalah prinsip dasar," ujarnya.

MPR juga memiliki tugas yang salah satunya adalah penguatan pilar-pilar kebangsaan, karena itu, sebelum lahirnya BPIP, ada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yaitu merupakan badan yang dibentuk Presiden.

Baca Juga: Sambut New Normal Jepang, Film-film Studio Ghibli Akan Ramaikan Pembukaan Bioskop Pascapandemi

"Bersama MPR, UK-PIP ditingkatkan statusnya lewat perpres sehingga lahir BPIP lalu sebagian anggota DPR menganggap perlu agar BPIP dibuatkan payung hukum tidak hanya dengan Kepres tetapi UU agar posisinya kuat. Kalau hanya dengan Kepres, nanti ganti presiden kepres dicabut hilang," katanya.

Jazilul menilai Pancasila memang mengalami pasang surut dan dinamika. Misalnya ketika menghadapi komunisme, lahir Pancasila, lahir juga Tap MPR Nomor II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4).

Di Era Reformasi, Jazilul mengatakan, Tap MPR nomor II dicabut sehingga tidak ada lagi P4, setelah itu ternyata ada kegalauan. Dunia masuk sistem global, ada kekhawatiran nasionalisme dan Pancasila digerus wacana-wacana global maka lahirlah BPIP.

Baca Juga: Kota Bandung Catat Lebih dari 1.700 Kasus DBD, Dinkes: Tertinggi di Jawa Barat

Jazilul sendiri sempat mempertanyakan judul rancanangan akademik RUU HIP, sebab pada awalnya bukan disebut RUU HIP, tetapi Pembinaan Ideologi Pancasila.

"Ini semacam P4, ketika rumusannya berubah, judulnya berubah seperti sekarang, selain menyimpang dari tujuan awal penguatan kepada BPIP, filosofinya juga berubah. Karena itu wajar ada yang menafsirkan UU ateis, anti Tuhan, sekuler karena tidak menyebutkan dalam konsideran TAP MPRS soal larangan komunisme," ujarnya.***

Editor: Fitri Nursaniyah

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah