"Pada dasarnya Anda mencoba untuk menyandikan serangkaian isyarat emosional dan sosial yang sangat kompleks ke dalam grafik kecil dan kemudian berharap bahwa orang lain dengan tepat menafsirkan apa yang Anda coba sampaikan," ujar Riordan.
Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Foto Habib Rizieq Shihab Menggunakan Serban Berlogo PKI
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa 55 persen komunikasi manusia adalah melalui bahasa tubuh, termasuk gerak tubuh, postur, ekspresi wajah, sementara 38 persen disampaikan oleh nada dan infleksi pembicara.
"Isyarat ini menghilang dalam pesan teks, jadi kita mengimbanginya dengan melebih-lebihkan respons kita," ujar Riordan.
"Kita cenderung menggunakan emoji ekstrem untuk meningkatkan respons. Orang-orang biasanya tidak menangis ketika tertawa," tutur dia.
Baca Juga: Cek Fakta: Tersiar Kabar Pasta Gigi Bisa Gantikan Test Pack untuk Deteksi Kehamilan
Lebih lanjut, Riordan mengatakan bahwa kecenderungan karakter hiperbolik juga bisa melebih-lebihkan kebenaran.
"Karena mereka (penerima pesan) tidak dapat melihat wajah kita atau mendengar nada suara kita, kita sebenarnya dapat menggunakan emoji untuk mengekspresikan emosi yang tidak kita rasakan," kata dia.
Dia menambahkan, intinya, pesan digital membatasi kemampuan kita untuk menyampaikan nuansa atau kehalusan.
Baca Juga: Dinilai Tidak Efektif, Kini Keluar Masuk Jakarta Tak Perlu SIKM, Cukup Gunakan Fitur Aplikasi Ini