Pakar Epidemiologi: Belum Ada Satupun Kota di Indonesia yang Bisa Terapkan New Normal

1 Juni 2020, 18:59 WIB
Sejumlah warga Wonokusumo dalam naungan Dompetjariyah melakukan aksi sambut New Normal.* /

PIKIRAN RAKYAT - Lebih dari enam juta orang penduduk di bumi telah terinfeksi virus corona, 27.000 ribu di antaranya adalah peduduk Indonesia yang kini tengah berada diambang kebijakan pemerintah antara pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan new normal.

Dua kebijakan itu merupakan upaya pemerintah dalam menekan penyebaran virus corona di Indonesia, namun demikian, kini pemerintah ramai menggaungkan kehidupan berdampingan dengan COVID-19 melalui tatanah kehidupan baru atau new normal.

Dengan tren kasus yang tak kunjung melandai, dan komfirmasi kasus harian masih lebih dari 500 orang, pakar epidemologi Dicky Budiman belum bisa melihat satu pun kota di Indonesia yang bisa menerpkan new normal.

Baca Juga: Usai Hapus Cek Poin PSBB, Jalan Braga hingga Dago di Kota Bandung Kembali Dibuka Malam Ini

Berbanding terbalik dengan pendapat pakar epidemiologi, Pemerintah Indonesia justru telah merilis daftar 102 kabupaten/kota yang boleh menerapkan new normal.

Menyusul hal itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga telah merilis 15 wilayah di Jawa Barat yang bisa menerapkan new normal.

12 wilayah lain di Jawa Barat dinilai berada di zona berbahaya sehingga masih harus menerapkan PSBB, terasuk Kota Bandung, PSBB dilaksanakan hingga 12 Juni 2020 mendatang.

Baca Juga: Lama Terparkir saat PSBB, Simak 5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Mobil Kembali Digunakan

Menurut epidemiolog Dicky Budiman, dilihat dari berbagai indikator, memang belum ada satu pun kota di Indonesia yang siap untuk memasuki masa new normal.

Bahkan DKI Jakarta, kota yang menurutnya memiliki upaya paling baik dalam menangani pandemi ini di Indonesia. Kota Bandung juga dinilai belum siap untuk menghadapi new normal.

"Belum siap. Bandung belum siap. Belum ada satu wilayah pun yang siap. Sampai saaat ini belum ada kabupaten kota yang siap," kata Dicky pada Senin 1 Juni 2020 seperti dilaporkan Galamedianews.

Baca Juga: Demonstran Babak Belur di Gedung Putih, Donald Trump Terciduk Lari dan Sembunyi di Bawah Tanah

Jika menilik dari kriteria organisasi kesehatan dunia WHO, adaptasi kehidupan baru atau new normal baru bisa diterapkan bergantung sisi epidemiologi virus tersebut.

"Ada dari sisi angka repoduksi di mana itu harus di bawah 1, jumlah kasus barunya paling ideal 0 kalau mau bertahap minimal berkurang setengahnya, enggak ada kematian akibat COVID-19. Itu dari sisi epidemiologi," ucap kandidat doktor di Griffith University Australia itu.

Selain dari segi epidemiologi, indikator intervensi juga wajib diperhatikan. Seperti halnya cakupan pengetesan penyebaran penyakit, pelacakan penyakit, hingga kesiapan aturan, sarana, dan prasarana.

Baca Juga: Berbatasan dengan Bandung yang Masih PSBB, Mal di Kawasan Jatinangor Segera Dibuka saat New Normal

"Dari sisi intervensi, misalnya berapa cakupan testingnya. Tidak boleh menurun jumlah testingnya, minimal sama atau bagusnya meningkat dan (dilakukan) dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)," ucap Dicky.

"Jangan sampai dikatakan kasus menurun karena testing menurun, berarti tidak valid," kata dia.

Hal yang tak kalah penting, sebagaimana disebutkan WHO, adalah partisipasi aktif dari masyarakat untuk menghentikan penyebaran COVID-19.

Baca Juga: New Normal Sumedang 2 Juni, Simak Protokol Adaptasi Kebiasaan Baru di Tempat Kerja dan Rumah Ibadah

Menurut ilmuwan asal Kota Bandung itu, partisipasi inilah yang menjadi kunci penerapan new normal.

Dicky menjelaskan ada dua level new normal yang mendasar di masyarakat, yakni adaptasi kebiasaan baru di level individu dan adaptasi di level instansi.

Adaptasi kehidupan baru di level instansi tidak akan pernah berhasil jika adaptasi di level individu tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Baca Juga: Viral Foto Wallpaper Pemandangan Sebabkan Ponsel Samsung Alami Kerusakan, Ini Dugaan Penyebabnya

"Pertama individu dan masyarakat, artinya orang perorang. Ini bisa dilakukan sejak awal, edukasi dan sosialisasi sejak awal, sejak pandemi itu terjadi, dan tentu ini tidak perlu menunggu kriteria apapun," katanya.

Masyarakat perlu terbiasa dengan protokol kesehatan umum, seperti mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, tidak pergi kemana pun jika tidak diperlukan, dan apapun yang diperlukan untuk mencegah penularan.

Level kedua adalah adaptasi kehidupan baru yang diterapkan di ruang-ruang publik, seperti tempat ibadah, kantor, transportasi publik, dan pusat perbelanjaan.

Baca Juga: Dua Bulan Ditutup Karena Corona, Kini Masjid Al-Aqsa di Palestina Terbuka Kembali untuk Jemaah

Pusat perbelanjaan bisa saja menerapkan protokol kesehatan, misalnya melarang masuk pengunjung yang demam, tidak memakai masker, dan masuk dengan bergerombol.

Dicky menambahkan, bila pada level individu sudah tertanam pemahaman tentang kondisi new normal, masyarakat akan pergi ke mal hanya jika ada keperluan yang sangat penting, dan tidak pergi ke sana jika tidak mendesak.

"Kalau ini tidak terbangun, dia mau kongkow, window shopping, jalan ke mal, karena dia tidak paham belum menerapkan new normal individu," kata Dicky.

Baca Juga: LTMPT Umumkan Kebijakan Baru, Tahun Ini Pendaftaran UTBK dan SBMPTN Digelar Bersamaan

"Karena belum paham, ya mal nya ramai lagi, walaupun diatur oleh pemerintahnya atau manajemen, dengan banyaknya orang akan tetap jadi crowded," tuturnya.

Riset WHO membuktikan peran aktif masyarakat yang menerapkan perubahan perilaku new normal bisa berkontribusi 80 persen dalam pengendalian pandemi.

"Besar sekali itu 80 persen. Kontribusi ini hanya bsa terjadi jika masyarakat paham," ucap Dikcky.***

Editor: Fitri Nursaniyah

Sumber: Galamedianews

Tags

Terkini

Terpopuler