PR BANDUNGRAYA - Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 silam menjadi salah satu catatan sejarah bagi Indonesia. Pasalnya, demo besar-besaran digelar oleh mahasiswa sebelum revisi UU KPK akhirnya berhasil direalisasikan.
Sebagaimana dilaporkan Antara, revisi UU KPK disebut bisa melemahkan KPK karena beberapa pasal memuat aturan berbeda dari sebelumnya.
Seperti pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, dan kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
Setela revisi UU KPK disahkan, pimpinan KPK terancam tak bisa diangkat karena kurang dari 50 tahun, adanya pemangkasan kewenangan penyelidikan, adanya pemangkasan kewenangan penyadap, dan operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit karena pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada dalam UU KPK diperumit.
Namun, pada faktanya, walau revisi UU KPK telah disahkan, sejak 2020 hingga awal 2021 ini, KPK berulang kali telah melakukan OTT pada sejumlah pejabat, termasuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo hingga mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara.
Terbaru, KPK gelar OTT pada Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, yang diduga menerima suap dan gratifikasi senilai Rp5,4 miliar.
Baca Juga: Dukung Gerakan Anti Militer, Dubes Myanmar untuk PBB Dipecat
Berkaca pada revisi UU KPK pada 2019 lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyadari bahwa upaya untuk melemahkan KPK akan selalu terjadi setiap periode berganti.
Namun, walau demikian Mahfud MD melihat lembaga KPK tetap tegar dalam menghadapi hal itu. Ketegaran ini didukung oleh adanya sistem dan mekanisme kuat dalam tubuh KPK.