Penolakan Kembali Menggema, Hanya 3 Cara Gagalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, Simak Penjelasannya!

21 Oktober 2020, 05:56 WIB
Ilustrasi Omnibus Law: Ada 3 cara menjegal UU Ombinus Law. /ANTARA

PR BANDUNGRAYA - Tepat pada 5 Oktober 2020 lalu Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau omnibus law Cipta Kerja telah resmi disahkan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan aksi protes besar-besaran di berbagai wilayah. Buruh dan mahasiswa bersatu mendatangi gedung DPR hingga Istana Presiden untuk menyampaikan pendapatnya soal UU Cipta Kerja. 

Alasan penolakan pun beragam dari tiap klaster. Seperti buruh yang merasa dirugikan terkait pesangon hingga outsourching. 

Baca Juga: Mesut Ozil Tersingkir dari Daftar Skuad Arsenal di Liga Europa

Penolakan pun datang dengan alasan lain bukan hanya isi UU Cipta Kerja, tapi juga prosedur pembentukan yang terkesan diam-diam dan terlalu cepat, apalagi pengesahan dilakukan di tengah pandemi. 

Ini adalah proses legislasi buruk DPR yang kesekian kali, seperti halnya pengesahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara(Minerba), dan UU Mahkamah Konstitusi.

Dengan hukum yang tersedia hari ini, setidaknya ada 3 cara menggagalkan omnibus law Cipta Kerja, simak uraiannya sebagaimana dikutip Prbandungraya.pikiran-rakyat.com dari The Conversation.

Baca Juga: Barcelona Vs Ferencvaros di Liga Champions, Berikut Prediksi hingga Susunan Para Pemain

1. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

Mengajukan permohonan ke MK adalah jalur konstitusional yang disediakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 apabila warga negara tidak setuju terhadap keberlakuan suatu UU.

Jika melihat pada proses pembentukan UU Cipta kerja, rakyat bisa mengajukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Keputusan uji formil dapat membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan.

Baca Juga: Berikut 4 kesepakatan dengan Jepang Usai Pertemuan Presiden Jokowi dengan PM Yoshihide Suga

Diketahui pembuatan UU Ciptakerja dibuat tertutup di Hotel mewah. Padahal, Pasal 88 dan Pasal 96 UU PPP menghendaki adanya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses pembahasan.

Di tahap penyusunan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan publik dan penyusunannya didominasi oleh pengusaha yang tergabung dalam satuan tugas UU Cipta Kerja.

Begitu juga ketika peralihan dari tahap penyusunan ke tahap pembahasan yang dilakukan melalui penerbitan Surat Presiden (surpres) yang dikirim ke DPR.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING dan Prediksi UCL Zenit Vs Club Brugge di Vidio Tayang Malam Ini

Surat ini diduga mengalami cacat formil karena dikeluarkan dengan tidak layak.

Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi saat ini sedang menggugat keabsahan surpres itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Jika PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, tentu akan menambah bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran formil saat penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan.

Baca Juga: Wahana Roller Coaster 'John Wick' Dikabarkan Akan Dibuka Tahun Depan di Dubai

Selain memeriksa apakah prosedur pembuatan UU Cipta Kerja sesuai kaidah hukum, UU Cipta Kerja juga bisa diuji materilal. 

Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK dapat membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.

Baca Juga: Sempat Menggemparkan Dunia K-Pop, Girls Generation Pernah Mengalami Insiden yang Menyedihkan

Seperti diketahui, UU Cipta Kerja banyak memuat pasal yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.

Misalnya, ketentuan dalam BAB X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang menyatakan bahwa pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata apabila terjadi kerugian keuangan negara saat melakukan investasi.

Ketentuan itu juga mengatur bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bisa diberlakukan atas lembaga ini dan pihak manapun termasuk penegak hukum tidak dapat menyita aset dari lembaga pengelolaa investasi.

Baca Juga: 33 Orang yang Ikut Demo Besar-Besaran Hari Ini di Patung Kuda Arjuna Wiwaha Kembali Diamankan

2. Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu

Selain judicial review ke MK, mendesak Presiden menerbitkan Perppu adalah cara konstitusional yang efektif untuk membatalkan UU Cipta Kerja dengan cepat.

Adanya kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu sudah terpenuhi. Gejolak penolakan yang meluas hampir di seluruh Indonesia dan aparat yang semakin represif mengancam kestabilan negara.

Baca Juga: Viral Foto Ridwan Kamil Jadi Sasaran Meme Netizen yang Dihubungkan dengan Film Emily in Paris

Ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen, dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie menyebut empat syarat hadirnya hukum darurat seperti Perppu yakni: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekadar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh.

Lebih lanjut Van Dullemen menekankan, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti Perppu ini adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi).

Meski demikian, harus kita ingat bahwa UU Cipta Kerja adalah usulan presiden; sehingga peluang Jokowi mengeluarkan Perppu yang membatalkan tentu menjadi kecil.

Baca Juga: Khawatir Sumber Daya Laut Menurun, Pemerintah Jepang Buat RUU Soal Kuota Penagkapan 15 Jenis Ikan

3. Legislative Review

Selain dua cara tadi, terdapat alternatif lain untuk mengubah UU Cipta Kerja agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni melalui legislative review atau perubahan melalui jalur normal di DPR.

Untuk hal ini, masyarakat bisa mendesak Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) - yang menolak UU Cipta Kerja, untuk mengusulkan kembali UU Cipta Kerja diubah dengan cara memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2021.***

Editor: Fitri Nursaniyah

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler