PR BANDUNGRAYA - Aksi teroris cukup marak terjadi di Indonesia beberapa waktu ke belakang.
Hal ini menjadi alarm penting bagi Pemerintah untuk mencari cara bagaimana agar kejadian teroris serupa tidak terulang.
Sebelumnya, aksis teror terjadi di Gereja Katedral Makassar dengan adanya ledakan bom bunuh diri.
Berselang tiga hari, aksi teror oleh seorang wanita dengan pistol dilakukan di Mabes Polri Jakarta Selatan.
Demi mencegah terjadinya hal serupa, Anggota Komisi I DPR, Saifullah Tamliha mengatakan bahwa solusi bisa didapat dari diciptakannya kerjasama antar-institusi negara.
"Kita harap pencegahan terhadap tindak pidana terorisme bisa dilakukan sedini mungkin tanpa terlebih dahulu mereka (teroris) melakukan teror," kata Tamliha sebagaimana dikutip PRBandungRaya.com dari Antara, Jumat, 2 April 2021.
Baca Juga: Cegah Aksi Terorisme, Polda Metro Jaya Perketat Pengamanan Empat Gereja di Jakarta
Diketahui, Indonesia memiliki berbagai institusi intelijen di antaranya Badan Intelijen Strategis TNI, jBadan Intelijen Negara, Jaksa Agung Muda Intelijen, BNPT, dan Intelkam Kepolisian Indonesia
Sebelum ada BNPT, BAIS TNI memiliki Desk Antiteror yang memiliki jejaring serta bekerja sama dengan jajaran teritorial TNI.
TNI juga memiliki berbagai satuan khusus antiteror dan kontra terorisme, di antaranya Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL, Satuan 90 Bravo Komando Pasukan Khas TNI AU, dan Komando Pasukan Khusus TNI AD.
Satuan-satuan ini juga memiliki kemampuan perang kota hingga gerilya dan anti gerilya.
Ia menilai konstitusi sudah memberikan kewenangan penegakan hukum kepada polisi menangkap seorang yang terindikasi melakukan teror.
"Saya yakin mereka memiliki datanya dan tinggal gunakan kewenangan saja, dan kementerian/lembaga lakukan pembinaan misalnya program-program deradikalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan, pada UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah direvisi pada 2018 karena aparat tidak bisa menangkap seorang sebelum yang bersangkutan melakukan aksi teror.
"Revisi itu poinnya seperti TNI bisa terlibat dalam tindak pidana terorisme namun ada masalah karena harus diatur dalam Peraturan Presiden tentang keterlibatan dalam operasi militer selain perang," katanya.
Anggaran itu untuk melakukan operasi militer saat perang yang menyangkut tindak pidana terorisme, itu salah satu waktu dulu adalah dibiayai APBD, APBN dan sumber lain yang tidak mengikat.
Baca Juga: Harga Emas di Pegadaian Hari Ini, Jumat 2 April 2021: Antam Dibanderol Rp529.000 per 0,5 Gram
Menurut dia, rancangan Perpres itu sempat dibahas di Komisi I DPR namun tidak disetujui, salah satunya terkait anggaran untuk melakukan OMSP karena dibebankan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Tamliha menjelaskan, tiap daerah memiliki karakter dan pendapatan yang berbeda-beda karena tidak semua daerah mampu membiayai pengeluaran di luar kepentingan pembangunan daerah.***