TB Hasanuddin Tegaskan Jargon 'Mosi Tidak Percaya' Hanya Bisa Dinyatakan Oleh DPR, Bukan Publik

15 Oktober 2020, 11:12 WIB
Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di DPRD Provinsi Kalbar di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis 8 Oktober 2020. /ANTARA/ Jessica Helena Wuysang

PR BANDUNGRAYA - Belakangan ini, istilah 'mosi tidak percaya' marak diserukan oleh publik kepada DPR RI dan Pemerintah setelah UU Cipta Kerja disahkan beberapa hari ke belakang.

Kendati demikian, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin mengungkapkan bahwa 'mosi tidak percaya' sebenarnya adalah hak DPR.

Maka dari itu, 'mosi tidak percaya' hanya dapat dinyatakan oleh DPR secara politik kepada kebijakan pemerintah, bukan dari publik.

Baca Juga: 2 Benda di Langit Berukuran Besar Diprediksi Akan Dekati Bumi

Hal tersebut sesuai dengan hak-hak DPR pada Pasal 77 Ayat 1 UU 27 Tahun 2009 terkait interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

"Mosi tidak percaya merupakan hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas ketidakpercayaan kepada pemerintah," kata Hasanuddin pada Kamis, 15 Oktober 2020.

Dilansir Prbandungraya.pikiran-rakyat.com dari RRI, Hasanuddin menjelaskan bahwa dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini, maka proses pemakzulan presiden nyaris tidak mungkin.

DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) untuk mengungkapkan pendapat terkait kebijakan pemerintah, atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri.

"Itu pun bila terdapat dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tidak tercela sesuai UU MD3 Pasal 79 Ayat 4," ujarnya.

Baca Juga: Memperingati Hari Cuci Tangan Sedunia, Berikut 7 Langkah Mencuci Tangan dengan Benar Selama 20 Detik

Hak menyatakan pendapat tersebut hanya dapat diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR.

Setelah memenuhi persyaratan administrasi, maka dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna.

Berdasarkan UU M3 Pasal 210 Ayat 1 dan 3, keputusan tersebut akan sah apabila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR, dengan minimal 2/3 dari jumlah tersebut menyetujuinya.

Menurutnya, apabila disetujui, maka Panitia Khusus (Pansus) dengan anggota yang terdiri dari semua unsur fraksi di DPR RI akan dibentuk.

"Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna," tutur Hasanuddin.

Selanjutnya, persetujuan DPR ini akan dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.

"MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR," ujarnya.

Baca Juga: Apple Rilis iPhone 12, Ini Jawaban Pihak Manajemen ERAA Soal Penjualan di Indonesia

MPR kemudian akan menggelar sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden oleh DPR.

Hasanuddin menuturkan bahwa keputusan MPR akan dinyatakan sah apabila dalam sidang paripurna MPR dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota, dan disetujui paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

"Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan Presiden pilihan rakyat," katanya.***

Editor: Bayu Nurulah

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler