Selamat Hari Santri Nasional: Mengingat Perjuangan Santri Tasikmalaya Melawan Penjajahan Jepang

22 Oktober 2020, 12:18 WIB
Ilustrasi pertempuran Tasikmalaya: Santri melawan Jepang 1944. /Dok. Disdik Jabar

PR BANDUNGRAYA - Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, pada tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional.

Hal ini merujuk pada sebuah peristiwa bersejarah, di mana K.H. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan tentara sekutu yang datang kembali pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945..

Ketika itu, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya yang menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda bersama sekutunya akan kembali.

Baca Juga: Dirut PT Pertamina Berada Diposisi 16 sebagai Pemimpin Perusahaan yang Paling Berpengaruh di Dunia

Di Priangan Timur perlawanan terhadap penjajah pun terjadi, sebelum proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 25 Februari 1944, di Tasikmalaya pernah terjadi sebuah pertempuran yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustafa.

Pemimpin yang hampir diikuti oleh seluruh santri di Tasikmalaya dan Priangan Timur ini menolak ajakan Jepang untuk menghormati bendera sambil membungkuk.

Menurut sejarawan Jepang, Aiko Kurosawa, ketika dua minggu setelah Jepang mendarat di Indonesia, mereka mewajibkan rakyat Indonesia untuk menghormati bendera Jepang, Hinomaru, setiap menjelang fajar sambil menghadap matahari, sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Tenno Haika.

Gerakan tersebut lantas ditolak oleh K.H. Zainal Mustofa, menurutnya gerakan tersebut menyerupai gerakan ruku dalam salat. Tak hanya itu, gerakan ini pun dianggap musyrik sebab mengakui Kaisar Tenno Haika sebagai ‘Dewa Matahari’.

Penolakan tersebut lalu disikapi Jepang dengan menurunkan polisi rahasia (Kenpeitai) untuk mengawasi kegiatan Pesantren Sukamanah dan K.H. Zainal Mustofa.

Baca Juga: 4 Provinsi Alami Peningkatan Kasus Covid-19, Luhut Tekankan Pentingnya Kerja Sama Antar Lembaga

K.H. Zainal Mustafa yang merasa dirinya selalu diawasi Jepang, kemudian membentuk barisan santri dan penduduk desa yang berjumlah 509 orang.

Rabu, 23 Februari 1944, Jepang mengirim utusan ke pesantren dan mengancam seisi pesantren beserta warga desa yang ada disekitarnya.

Besoknya, 24 Februari, Jepang mengirim pasukan lain (Kempetai) yang dipimpin pejabat lokal yang memihak Jepang, seperti Camat Cakrawilaksana, Sastramaun (Lurah Cimerah), Suhandi (juru tulis), dan Muhri (Kepala Kampung Punduh). Kedatangan mereka bermaksud untuk meringkus KH Zainal Mustafa.

Bentrok fisik pun tak terhindarkan antara santri dengan utusan jepang tersebut. Senjata yang dibawa dapat dirampas para santri, di antaranya 12 senapan, 3 pucuk pistol, dan 25 senjata tajam.

Senjata-senjata itu disimpan dan tidak digunakan. K.H. Zainal Mustafa sadar, Jepang pasti akan datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar.

Baca Juga: ShopeePay Perkuat Keamanan Akun Pengguna dengan Rekognisi Wajah dan Sidik Jari

Jumat 25 Februari, sebelum melaksanakan salat Jumat, K.H. Zainal Mustafa memberi pilihan kepada para santri untuk pulang ke kampung masing-masing, namun kenyataannya mereka justru memilih bertahan di dalam pesantren.

Saat khutbah salat Jumat, pasukan Jepang sudah mengepung rapat pesantren. K.H. Zainal Mustafa meminta jamaah tetap tenang dan menyelesaikan salat Jumat.

Setelah itu, pertemuan pun dilakukan di masjid antara seorang Perwira Jepang dan K.H. Zainal Mustafa dengan disaksikan masing-masing kubu.

Ketika saling berbicara, nada kasar sambil mengancam K.H. Zainal akan dihukum berat menyulut emosi para santri.

Perwira Jepang juga memberi pilihan kepada K.H. Zainal Mustafa untuk meminta ampun agar hukumannya ditarik kembali.

Suasana berubah menjadi gaduh ketika perwira Jepang mengatakan bahwa jika satu orang Jepang mati maka harus ditebus seribu nyawa orang Indonesia.

Baca Juga: Rugikan Negara Rp16 Triliun, Pengelola Jiwasraya Dituntut Penjara Seumur Hidup dan Denda Rp10 T

Saat itu juga KH Zainal Mustafa mengeluarkan komando perlawanan, menyebabkan tiga polisi Jepang tewas dan sisanya melarikan diri.

Mendengar hal ini Jepang mengirim enam kompi tentara untuk mengepung Desa Sukamanah

Menjelang Ashar, Jepang dengan menggunakan kendaran lapis baja berusaha menerjang pesantren serta menaruh pasukan berdarah Indonesia di garda terdepan.

Strategi tersebut membuat para santri menjadi ragu karena berhadapan sesama rakyat sendiri. Melihat hal itu K.H. Zainal Mustafa lantas memerintahkan para santri untuk tidak melakukan perlawanan dulu.

Karena kalah senjata, K.H. Zainal Mustafa dan para santri mundur saat menjelang malam. Kondisi tersebut dimanfaatkan tentara Jepang untuk merangsek masuk ke dalam pesantren.

Dalam serangan tersebut, K.H. Zainal Mustafa kehilangan mertuanya yang dibunuh Jepang, H. Syamsuddin.

Baca Juga: Sudah Capai Uji Klinis Fase 3, Ini Alasan Vaksin Covid-19 Tak Bisa Cegah Gejala Parah atau Kematian

Malam itu juga, KH Zainal Mustafa yang mundur ke Kampung Cihaur ditangkap bersama dengan Kyai Najamuddin, Kyai Umar, Domon, A. Hidayat, serta 27 santri.

Keesokan harinya dari tanggal 26-29 Februari 1944 Jepang menangkap sejumlah penduduk desa sekitar pesantren yang membuat penjara di Tasikmalaya penuh.

Kurungan dan siksaan selama tiga bulan yang dialami K.H. Zainal Mustofa di Tasikmalaya harus dilanjutkan ke penjara di Cipinang, Jakarta.

Semenjak dipindahkan ke Jakarta, Pemerintah Militer Jepang (Gunsekan-bu) menjadi was-was sebab khawatir hal serupa akan ditiru oleh pesantren-pesantren lain di Indonesia.***

Editor: Fitri Nursaniyah

Sumber: Disdik Jabar

Tags

Terkini

Terpopuler