K.H. Zainal Mustafa yang merasa dirinya selalu diawasi Jepang, kemudian membentuk barisan santri dan penduduk desa yang berjumlah 509 orang.
Rabu, 23 Februari 1944, Jepang mengirim utusan ke pesantren dan mengancam seisi pesantren beserta warga desa yang ada disekitarnya.
Besoknya, 24 Februari, Jepang mengirim pasukan lain (Kempetai) yang dipimpin pejabat lokal yang memihak Jepang, seperti Camat Cakrawilaksana, Sastramaun (Lurah Cimerah), Suhandi (juru tulis), dan Muhri (Kepala Kampung Punduh). Kedatangan mereka bermaksud untuk meringkus KH Zainal Mustafa.
Bentrok fisik pun tak terhindarkan antara santri dengan utusan jepang tersebut. Senjata yang dibawa dapat dirampas para santri, di antaranya 12 senapan, 3 pucuk pistol, dan 25 senjata tajam.
Senjata-senjata itu disimpan dan tidak digunakan. K.H. Zainal Mustafa sadar, Jepang pasti akan datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar.
Baca Juga: ShopeePay Perkuat Keamanan Akun Pengguna dengan Rekognisi Wajah dan Sidik Jari
Jumat 25 Februari, sebelum melaksanakan salat Jumat, K.H. Zainal Mustafa memberi pilihan kepada para santri untuk pulang ke kampung masing-masing, namun kenyataannya mereka justru memilih bertahan di dalam pesantren.
Saat khutbah salat Jumat, pasukan Jepang sudah mengepung rapat pesantren. K.H. Zainal Mustafa meminta jamaah tetap tenang dan menyelesaikan salat Jumat.
Setelah itu, pertemuan pun dilakukan di masjid antara seorang Perwira Jepang dan K.H. Zainal Mustafa dengan disaksikan masing-masing kubu.
Ketika saling berbicara, nada kasar sambil mengancam K.H. Zainal akan dihukum berat menyulut emosi para santri.