Omnibus Law UU Ciptaker Dinilai Cacat Hukum, KRPI Ajukan Judicial Review

7 Oktober 2020, 07:03 WIB
Ilustrasi RUU Cipta Kerja. /RRI

PR BANDUNG RAYA – Meski telah resmi disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau yang lebih dikenal sebagai Omnibus Law UU Ciptaker, hingga kini masih menuai kontroversi di tengah masyarakat.

Hingga dibahasnya klaster Ketenagakerjaan, UU ini masih menuai penolakan keras dari masyarakat, khususnya dari kalangan serikat buruh.

Dilansir Prbandungraya.pikiran-rakyat.com dari RRI, Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (DPP KRPI), Saepul Tavip memaparkan bahwa sejak awal perencanaan dibuatnya RUU Cipta Kerja hingga disahkan, UU ini cacat hukum, baik secara formil dan materil.

Baca Juga: Komentari Pengesahan UU Cipta Kerja, dr Tirta: Urgensinya Di mana, Kenapa Disahkan di Masa Pandemi

“Dari sisi formil, sejak diumumkan Presiden tentang rencana pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, pemerintah tidak terbuka untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja tersebut,” ujarnya dalam keterangan pers pada Selasa malam, 6 Oktober 2020.

Padahal terpampang jelas pada Pasal 96 UU Nomor 12 tahun 2011 bahwa dalam proses pembuatan suatu UU wajib melibatkan masyarakat.

"Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat draft RUU Cipta Kerja ini, hingga diserahkan ke DPR," tutur dia.

Selain itu, sejumlah pasal yang telah disepakati di tingkat Panja ternyata berbeda dengan isi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan.

Salah satunya, Pasal 59 tentang Perjanjian Waktu Kerja Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing).

Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di tingkat Panja, telah disepakati untuk kembali ke UU 13/2003.

Baca Juga: Komentari Pengesahan UU Cipta Kerja, dr Tirta: Urgensinya Di mana, Kenapa Disahkan di Masa Pandemi

Akan tetapi, dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan, ternyata berbeda dengan isi kesepakatan Panja.

"Sehingga terindikasi ada pihak yang sengaja membelokkan poin-poin kesepakatan Panja," katanya.

Dihapusnya syarat PKWT maksimal tiga tahun dan sekali perpanjangan PKWT, serta dibebaskannya outsourcing akan menyebabkan semakin banyak pekerja yang diperlakukan dengan sistem PKWT dan outsourcing.

Padahal telah menjadi rahasia umum bahwa pekerja PKWT dan outsourcing adalah pekerja yang rentan dilanggar hak-hak normatifnya.

Pelanggaran hak normatif ini meliputi upah umum (termasuk upah lembur), dan jaminan sosial.

Baca Juga: Polemik Surat Telegram, Pengamat Kepolisian: Polri Seharusnya Alat Negara, Bukan Alat Pemerintah

Oleh karena itu, KRPI akan menempuh jalur perlawanan dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak seluruh isi klaster Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja.

"KRPI pun berharap seluruh komponen gerakan Serikat Pekerja di Indonesia untuk bahu membahu, kompak menolak UU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat pekerja ini dengan tetap menjaga keselamatan pekerja dari bahaya Covid-19," kata Saepul.***

Editor: Bayu Nurullah

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler